Kumparan Bisnis
15 April 2022
Peran Indonesia sebagai tuan rumah G20 merupakan peluang untuk membangun kerja sama dan mencari dukungan dari negara-negara G20, dalam mencapai target net zero emission pada tahun 2060.
Pemerintah telah menetapkan transisi energi sebagai salah satu isu prioritas dalam Presidensi G20. Dalam Energy Transition Working Group (ETWG), terdapat 3 masalah utama yang diusung, yaitu aksesibilitas, optimalisasi teknologi, dan pendanaan.Project Manager Clean, Affordable, and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) Indonesia, Agus. P. Tampubolon, mengatakan ada dua jenis instrumen yang relevan untuk mengatasi masalah pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT), yaitu instrumen de-risking kebijakan dan instrumen de-risking keuangan.Menurut kajian CASE Indonesia, walaupun kedua instrumen tersebut efektif di beberapa negara, Indonesia perlu memprioritaskan instrumen de-risking kebijakan daripada instrumen de-risking keuangan.”Akses terhadap energi terbarukan saat ini masih rendah di masyarakat. PLTS Atap contohnya, dengan harga yang masih di atas Rp 10 juta per kWp menyebabkan hanya masyarakat dengan penghasilan besar yang dapat memasangnya,” ujar Agus dalam media briefing CASE, Kamis (14/4).
Padahal, kata Agus, masyarakat di luar perkotaan yang belum tersuplai listrik PLN yang bisa mendapatkan manfaat besar dari PLTS Atap tersebut.
IstimewaSementara itu, Sustainable Energy Finance Advisor, Deputy Programme Manager GIZ Indonesia, Deni Gumilang, menjelaskan mekanisme mobilisasi pendanaan dan investasi pembiayaan di Indonesia sudah ada, yaitu climate financing yang bisa mendukung transisi energi.”Integrasi ataupun modifikasi terhadap berbagai instrumen yang ada juga dapat menjadi modalitas yang baik dalam mendukung proses transisi energi di Indonesia,” jelasnya.Namun, prioritas instrumen de-risking kebijakan masih diperlukan karena isu-isu yang lebih banyak dihadapi saat ini adalah pada aspek regulasi. Deni menuturkan, kerangka peraturan yang baik dan lingkungan bisnis yang ramah untuk perkembangan EBT jadi landasan kokoh pendanaan ke depan.
Deni mengatakan, kondisi tersebut dapat dipenuhi melalui beberapa implementasi instrumen de-risking kebijakan. Pertama, meningkatkan target dan kebijakan EBT terutama dalam kejelasan, konsistensi, kredibilitas, dan koherensinya.Kedua, reformasi kebijakan insentif dan penetapan harga, khususnya kebijakan penetapan harga dan subsidi yang berfokus pada EBT. Ketiga, menciptakan proses perizinan dan pengadaan yang efektif dan efisien untuk memberikan keamanan dan kepastian investasi.”Lalu meningkatkan kualitas manajemen risiko proyek dengan memberikan standar, peringkat, dan dukungan teknis. Serta meningkatkan kelayakan dan kredibilitas proyek dengan memfasilitasi penelitian, pengembangan proyek, serta pengembangan kapasitas,” tandas Deni.